A. Hakikat Pengambangan kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan belajar serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu.
Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses yang merencanakan, menghasilkan
suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap
kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar
mengajar yang baik. Dengan kata lain pengembangan kurikulum adalah kegiatan
untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum
atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Ahli
kurikulum memandang kegiatan pengembangan kurikulum sebagai suatu proses yang
kontinu. Kurikulum disusun agar dunia pendidikan dapat memenuhi tuntutan yang
berkembang dalam masyarakat. Jika masyarakatnya berubah, maka kurikulumnya juga
harus berubah. Jika kurikulum tidak berubah, maka sebuah layanan pendidikan
hanya akan menghasilkan produk yang mandul, yang pada akhirnya akan
ditinggalkan oleh masyarakat sebagai salah satu stakeholder pendidikan.
Secara teoritis, pengembangan kurikulum dapat terjadi kapan saja sesuai
kebutuhan. Salah satu kebutuhan yang harus diperhatikan dalam kurikulum adalah
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perilaku kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua itu harus tercermin dalam kurikulum
pada setiap jenjang pendidikan yang ada. Munculnya undang-undang baru membawa
implikasi baru terhadap paradigma dalam dunia pendidikan. Kondisi yang ada saat
ini dan antisipasi terhadap keadaan masa yang menuntut berbagai penyesuaian dan
perubahan kurikulum yang digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan
pendidikan.
B.
Peran Pengambangan
kurikulum
Pengembangan kurikulum memiliki berbagai peran berikut:
1.
Peran
konservatif
Kurikulum memiliki peran konservatif, yakni kurikulum berperan sebagai
salah satu instrumen untuk mengkonservasikan kebudayaan suatu bangsa. Tanpa
kurikulum yang baik, kebudayaan suatu bangsa akan sirna dalam sekejap karena
tidak ada yang melestrikannya. Dengan mencantumkan dalam kurikulum, kebudayaan
suatu bangsa diharapkan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.
2.
Peran kritis dan
evaluatif
Kurikulum dapat dengan kritis menilai dan mengevaluasi keberadaan
kebudayaan nenek moyangnya untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam
kebudayaan. Apabila dipandang ada unsur-unsur kebudayaan yang kurang baik, maka
generasi selanjutnya dapat memilah-milah mana unsur yang dapat diterapkan dan
dilestarikan, dan mana unsur kebudayaan yang diabaikan karena kurang sesuai
dengan perkembangan jaman.
3.
Peran Kreatif
Kurikulum harus mampu menciptakan kreasi-kreasi baru dalam kaitannya dengan
kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat sehingga kebudayaan tersebut lebih
sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakatnya.
C.
Proses
Perubahan dan Pengembangan Kurikulum
1.
Makna
perubahan kurikulum
Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau dokumen
yang digunakan guru sebagai pegangan dalam proses belajar mengajar. Kurikulum
juga dapat dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai
peserta didik dan bagaimana proses mencapainya. Kurikulum juga dapat diartikan
sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu
direvisi secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan jaman. Selain
itu, kurikulum dapat ditafsirkan sebagai kenyataan yang terjadi di kelas.
Kurikulum dalam arti ini tidak mungkin direncanakan sepenuhnya, serinci-rincinya,
karena interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif
yang tak selalu dapat diramalkan sebelumnya. Dalam konteks seperti ini, guru
memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi pengembang kurikulum dalam
kelasnya. Akhirnya, kurikulum dapat dipandang sebgai cetusan jiwa pendidikan
yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai, yang tertinggi dalam
perilaku anak didiknya.
2.
Perubahan
dan pengembangan
Perubahan tak
selalu sama dengan pengembangan, akan tetapi perkembangan selalu mengandung
perubahan. Pengembangan berarti meningkatkan nilai atau mutu. Perubahan adalah
pergeseran posisi, kedudukan atau keadaan yang mungkin membawa perbaikan atau
memperburuk keadaan. Pengembangan selalu dikaitkan dengan penilaian.
Pengembangan dilakukan untuk meningkatkan nilai. Untuk melakukannya didasarkan
atas kriteria tertentu. Perbedaan kriteria akan memberi perbedaan pendapat
tentang baik buruknya perubahan itu. Dalam bidang kurikulum terdapat banyak ide
dan usaha untuk mengembangkan kurikulum yang dicetuskan para ahli. Pada suatu
ketika, kurikulum dipusatkan pada anak, tetapi dikemudian hari disadari bahwa
anak tak dapat hidup terlepas dari msayarakat. Disadari bahwa kurikulum tidak
dapat diutamakan hanya satu aspek saja, akan tetapi semua aspek yaitu anak,
masyarakat maupun pengetahuan secara berimbang.
3.
Bagaimana
terjadinya perubahan?
Menurut para ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam
tiga fase yaitu:
a.
Fase pertama
adalah inisiasi. Inisiasi merupakan taraf permulaan sebuah ide dilancarkan, dengan
menjelaskan sifat, tujuan, dan cakupan perubahan yang ingin dicapai.
b.
Fase kedua
adalah legitimasi. Legitimasi merupakan taraf orang lain mulai menerima
perubahan.
c.
Fase ketiga
adalah kongruensi. Kongruensi merupakan taraf sewaktu orang mengadopsi suatu
perubahan dan menyamakan pendapatnya selaras dengan pikiran para pencetus,
sehingga tidak terdapat perbedaan nilai antara pencetus dengan penerima perubahan.
Kesamaaan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
cara. Diantaranya melalui pemberian janji, kenaikan gaji atau pangkat,
memperoleh kredit, serta sikap ramah, sabar, akrab, pengertian serta mengajak
berpartisipasi dan mengemukakan perubahan sebagai masalah yang dipecahkan
bersama. Berkaitan dengan kurikulum perubahan akan lebih berhasil jika guru
merasa memerlukan perubahan tersebut, sehingga timbul hasrat untuk memperbaiki
demi kepentingan bersama. Perubahan yang
terjadi atas paksaan dari atasan, biasanya tidak dapat bertahan lama. Perubahan
tersebut hanya akan diikuti secara formal dan cepat luntur. Menjadikan perubahan sebagai masalah,
melibatkan semua yang terlibat dalam perumusan masalah, pengumpulan data,
menguji alternatif dan mengambil kesimpulan berdasar percobaaan, dianggap lebih
mantap dan meresap dalam hati guru. Akan tetapi cara seperti ini akan
memerlukan waktu yang cukup lama.
4.
Perubahan
Guru
Perubahan
kurikulum tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya perubahan pada diri guru
karena guru yang menjadi kunci keberhasilan sebuah inovasi kurikulum. Pada
umumnya perubahan sering terasa menggangu dan membebani. Guru tidak mudah
berubah karena kebiasaan lama sudah membuat aman dan nyaman. Suatu perubahan
sering dianggap sebagai masalah baru yang mengharuskan guru memulai lagi,
belajar lagi, mengujicobakan lagi, dan perilaku lain yang menghadapkan guru
pada situasi baru.
Apabila
perubahan tersebut disadari oleh guru sebagai sebuah kebutuhan untuk mengatasi
masalah dan kekurangan yang dimilikinya, maka tanpa didorong-dorong seorang
guru akan berupaya mencari cara untuk mengatasi masalah. Hal ini akan membuat guru terbuka terhadap
perubahan. Informasi yang diperoleh akan memberi guru wawasan dan pandangan
baru tentang pendidikan, sehingga akan menimbulkan rasa butuh dan motivasi
untuk menerima perubahan yang dapat membawa ke arah perbaikan mutu pendidikan.
Orang yang berkeinginan melakukan perubahan harus memicu dan membangkitkan
kebutuhan perubahan pada diri guru-guru. Orang tersebut juga tidak boleh
bertindak sebagai orang serba tahu dalam mengubah kelakuan guru. Hendaknya
orang tersebut sebanyak mungkin melibatkan guru dalam proses perubahan.
Perubahan hendaknya disertai dengan pengalaman konkret. Proses perubahan perlu
selalu diusahan komunikasi terbuka, sehingga guru-guru bebas mengemukakan
pendapat. Walaupun petugas mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, hendaknya
tetap berhati-hati dalam menggunakan kekuasaan dan kewibawaan. Selain itu,
petugas juga harus memposisikan dirinya dengan tepat dalam memandang guru. Hal ini dikarenakan guru adalah tokoh utama
dalam kelasnya. Guru akan menentang perubahan yang akan mengurangi
kedudukannya. Metode yang meniadakan peranan guru dan didasarkan bahan yang
telah tersusun, tidak akan diterima guru dengan senang hati. Selain itu,
perubahan yang memerlukan pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu akan menemui
tantangan yang berat. Orang yang berperan sebagai pengubah kurikulum harus
dapat bekerjasama, serta mempengaruhi orang dan memberi inspirasi. Orang
tersebut juga harus mempunyai sensitivitas sosial, terbuka terhadap pikiran
orang lain dan perubahan. orang yang berperan sebagai pengubah kurikulum harus
profesional dan rendah hati.
5.
Mengubah
lembaga atau organisasi
Setiap lembaga
atau organisasi memiliki struktur sosial tertentu yang tidak mudah untuk
dilakukan perubahan. Menurut para ahli, rekayasa sosial dalam usaha mengadakan
perubahan dapat dilakukan dengan empat langkah yaitu menganalisis situasi,
menentukan perubahan yang perlu diadakan, mengadakan perubahan, dan memantapkan
perubahan tersebut. Sikap orang terhadap perubahan berbeda-beda. Ada yang
dengan mudah menerima, ada yang menentangnya teranga-terangan atau diam-diam,
ada yang acuh tak acuh. Ada yang ikut-ikutan tanpa komitmen, dan ada pula yang
ikut untuk mengamankan diri karena takut terhadap sanksi. Menyebarkan perubahan
perlu dicegah timbulnya polarisasi yaitu pertentangan antara dua pihak.
Perubahan hanya dapat berhasil bila semua pihak terlibat dan bekerja sama.
Penyebar perubahan perlu mengenal timbulnya daya-daya yang membantu dan
menghalangi perubahan tersebut, serta berusaha memperkuat daya-daya yang
menyokong sambil melemahkan, melumpuhkan dan meniadakan daya-daya yang
menghambat. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan dan kepekaan sosial.
Semua pihak yang diharapkan melakukan perubahan perlu
ditumbuhkan minat dan kemauannya untuk berubah, diberi kesempatn untuk
membicarakan dan memikirkan arti perubahan bagi diri sendiri dan organisasi
serta dimungkinkan melakukan percobaan dengan mempraktikkannya sehingga manfaat
perubahan dapat dipahami dan dirasakan.
6.
Kelambanan
perubahan pendidikan
Terdapat beberapa penyebab
kelambanan perubahan dalam dunia pendidikan, diantaranya:
a.
Kurikulum belum
mempunyai dasar ilmiah. Bsulit meramalkan setiap metode atau bahkan kurikulum
memiliki sejumlah kelemahan karena banyaknya variabel yang mempengaruhi hasil
suatu tindakan pendidikan.
b.
Kurikulum tidak
mempunyai petugas khusus yang bersedia memberikan bantuan kapan saja
diperlukan.
c.
Tidak ada
penghargaan khusus bagi guru atau siapapun yang melakukan perbaikan, yang
membedakannnya dengan guru lain yang tidak melakukan perubahan apa-apa.
d.
Kebanyakan guru
menggunakan cara-cara lama yang telah teruji dan telah dikenal guru dengan baik
serta dijalankan secara rutin.
e.
Kurikulum yang
seragam menghambat ruang gerak guru untuk mengadakan perubahan dan menimbulkan
kesan setiap penyimpangan dari yang telah ditentukan dalam pedoman kurikulum
dianggap sebagai pelanggaran. Padahal, dalam kurikulum yang ditentukan oleh
pusat selalu ada ketidaksesuaian dengan kenyataan lapangan yang memerlukan
penyesuaian oleh guru.
D.
Isi
Pengembangan Kurikulum
Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya
dengan isi dalam pengembangan kurikulum. Pertama, isi kurikulum didefinisikan
sebagai bahan atau materi belajar mengajar. Bahan dalam kurikulum tidak hanya
berisi informasi faktual, tetapi juga mencangkup pengetahuan, keterampilan,
konsep, sikap, dan nilai. Beberapa ahli yakin bahwa beberapa isi mempunyai
nilai intrinsik yang dapat dipelajari demi kepentingannya sendiri. Pendapat
lain menyatakan bahwa isi kurikulum memiliki nilai jika hal itu dapat
digunakan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa semua isi memiliki nilai
instrumental yakni alat-alat sederhana yang oleh orang lain menjadi pelajaran-pelajaran
yang bernilai. Kedua, dalam proses belajar mengajar ada dua elemen kurikulum
yang berinteraksi secara konstan yakni isi dan metode.
1.
Persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan penyeleksian isi atau bahan
Bruner (dalam Abdullah Idi,2007) berpendapat bahwa
pengajaran kurikulum baru berhubungan dengan cara memberikan pengetahuan kepada
anak didik tentang strukutur fundamental dari mata pelajaran yang dipilih.
Menurut Bruner, struktur ini mencakup segala prinsip dan organisasi yang
terdiri atas sejumlah mata pelajaran tertentu. Dengan demikian, anak didik
mampu memiliki struktur dari suatu mata pelajaran. Bruner juga mengatakan bahwa
dalam mempelajari struktur anak didik juga akan mempelajari tentang bagaimana
sesuatu dihubungkan. Peters berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses
mengantarkan dan mengarahkan anak didik pada pengetahuan yang relevan.
2.
Kriteria penyeleksian isi atau bahan
Dalam
menyeleksi isi atau bahan kurikulum,
pengembangan kurikulum perlu memperhatikan berbagai kriteria :
a. Validitas
Isi
dinyatakan valid ketika otentik, kendala utama keotentikan isi adalah keusangan
pengetahuan. Keusangan itu dapat berupa fakta atau konsep, prinsip-prinsip atau
teori dari suatu bidang pengetahuan yang sudah tidak terpakai atau sudah kuno.
b. Signifikan
Isi
merupakan fundamen bagi setiap mata pelajaran atau bidang studi. Kriteria
signifikansi berlaku untuk fakta-fakta, ide utama, konsep, dan prinsip yang
menjadi isi suatu mata pelajaran. Dengan demikian, kriteria signifikansi
terkait dengan penentuan keseimbangan antara ide-ide dan fakta-fakta dalam
suatu mata pelajaran, dengan tujuan untuk mencapai keluasan dan kedalaman isi.
c. Sesuatu
yang diminati peserta didik
Minat
anak didik merupakan salah satu pertimbangan dalam seleksi isi, meskipun ada
perdebatan tentang sejauh mana pengembangan kurikulum harus mengakomodasi
kriteria ini ke dalam isi kurikulum. Persoalan yang terkait dengan kriteria ini
adalah bagaimana menyelaraskan isi kurikulum dengan minat dan perilaku anak
didik.
d. Dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran ( learnability)
Isi
yang dipilih harus dapat dipelajari oleh anak didik dan juga harus dapat
diadaptasikan sesuai dengan kemampuan anak didik. Dalam hal ini yang penting
adalah adanya kesesuaian antara isi yang diseleksi dengan apa yang telah anak
pelajari.
e. Konsistensi
dengan realitas sosial
Isi
harus konsisten dengan realitas sosial. Kriteria ini secara efektif sama dengan
kriteria “validitas”, tetapi ada perbedaan antara respon terhadap situasi
langsung (validitas) dengan pencapaian suatu orientasi pemikiran realitas
terhadap kebutuhan dasar dan budaya.
f. Mempunyai
nilai guna (utility)
Kriteria
ini menganjurkan bahwa isi yang paling berguna bagi anak didik dalam
menyelesaikan kondisi sekarang dan di masa mendatang harus diseleksi pada semua
mata pelajaran. Mempunyai nilai guna ini harus memilah dan menyeleksi isi
dengan ketat, sesuai dengan nilai gunanya.
E. Asas Pengembangan Kurikulum
Menurut
Nasution (1995) terdapat empat asas yang mendasari pengembangan setiap
kurikulum yaitu :
1. Asas
filosifis
Asas
filosofis ini berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan falsafah
masing-masing negara.
2. Asas
psikologis
1) Psikologi
anak
Sekolah didirikan untuk kepentingan anak, yakni
menciptakan situasi-situasi dimana anak dapat belajar untuk mengembangkan bakat
dan potensinya. Kurikulum harus berorientasi pada minat dan perkembangan anak
atau child centered curiculum.
2) Psikologi
belajar
Pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan
dan keyakinan bahwa anak-anak dapat dididik, dapat dipengaruhi perilakunya.
Psikologi belajar mengkaji tentang bagaimana proses belajar anak itu
berlangsung.
3. Asas
sosiologis
Anak
tidak hidup sendiri, terisolasi dari manusia lainnya. Anak hidup dalam suatu
masyarakat, dimana ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus dilaksanakannya
dengan penuh tanggung jawab, baik sebagai anak, maupun sebagai orang dewasa
kelak. Setiap masyarakat memiliki norma-norma, adat kebiasaan, dan anutan corak
nilai yang berlainan. Perbedaan dari setiap masyarakat inilah yang harus
dipertimbangkan dalam kurikulum.
F. Tingkat Pengembangan
Pengembangan
kurikulum dapat dilakukan dalam kadar kecil dan sangat terbatas, dan dapat pula
secara meluas dan mendasar. Pengembangan kurikulum itu dapat berupa (1)
substitusi, (2) alterasi, (3) variasi, (4) restrukturisasi, dan (5) orientasi
baru.
Pengembangan
yang bersifat substitusi dapat berupa penggantian suatu buku pelajaran dengan
buku pelajaran yang bernilai lebih baik. Perubahan seperti itu sangat kecil
karena hanya mengganti atau menukar buku pelajaran. Alterasi merupakan bentuk
perubahan kurikulum dengan misalnya, menambah atau menggurangi jam pelajaran
untuk bidang studi tertentu, yang dapat mempengaruhi jam pelajaran bidang studi
lain. Perubahan ini lebih sulit dibandingkan dengan substitusi, karena harus
dilakukan berdasaran alasan mengapa jam pelajaran suatu bidang studi ditambah,
dan mengapa bidang studi lain harus dikurangi.
Perubahan
kurikulum dalam bentuk variasi dimaksudkan untuk menerima dan menerapkan suatu
metode yang berhasil disekolah lain untuk dijalankan di sekolah sendiri, dengan
meniadakan metode yang lama. Perubahan seperti ini memerlukan perubahan pada
guru yang harus mempelajari dan menguasai metode baru tersebut. Perubahan ini
lebih sulit dibandingkan dengan bentuk-bentuk perubahan sebelumnya.
Restrukturisasi
adalah bentuk perubahan kurikulum melalui pemberian peran baru kepada guru
dengan dukungan tenaga dan fasilitas baru, seperti pengembangan team
teaching, dan akhirnya perubahan paling besar resikonya ialah melalui
restrukturisasi, yaitu perubahan yang berkaitan dengan penerapan nilai-nilai
baru, misalnya peralihan kurikulum yang berpusat pada pengetahuan akademis (subject-centered)
menjadi unit approach, kurikulum yang berpusat pada anak, atau
macam-macam pendekatan lain dalam kurikulum.
G. Proses Pengembangan Kurikulum
Wewenang
pengembangan kurikulum adalah pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional. Yang dihasilkan adalah suatu kurikulum nasional yang
menentukan garis-garis besar tentang apa yang harus diajarkan kepada siswa.
Tetapi, ada pula yang berpandangan bahwa kurikulum dapat ditafsirkan sebagai
segala sesuatu yang terjadi dalam kelas dan sekolah yang mempengaruhi perubahan
perilaku siswa dengan berpedoman pada kurikulum yang ditentukan oleh
pemerintah. Dalam arti terkhir ini, pengembangan kurikulum terutama tergantung
pada guru. Guru menentukan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kelasnya.
Dalam posisi ini boleh dikatakan guru sebagai pengembang kurikulum. Ada dan
tidaknya kegiatan pengembangan pengajaran dalam kelasnya bergantung pada ada
tidaknya usaha guru.
Tak
semua guru sadar akan peranannya sebagai pengembang kurikulum. Ia memandang
dirinya sekedar sebagai pelaksana kurikulum, yang berusaha untuk tidak
melakukan kesalahan dari ketentuan dari atasan. Padahal, apa yang ditentukan
oleh atasan sebenarnya masih jauh dari lengkap. Yang diberikan umumnya adalah
garis-garis besar. Bahan pelajaran juga hanya memuat pokok pokoknya saja, dan
rinciannya harus dijabarkan oleh guru. Demikian pula, metode yang dianjurkan
sangat terbatas dan tidak spesifik.
Penilaian
formatif dan sumatif untuk setiap pelajaran ditentukan sepenuhnya oleh guru.
Guru dapat menerapkan penilaian yang lebih komprehensif, yang meliputi aspek
emosional, moral, sosial, sikap dan aspek afektif lainnya. Guru dalam posisi
strategis untuk lebih mengenal perkembangan anak, fisik, mental, etis, estetis,
sosial, dan lain lain.
Antara
kurikulum nasional yang dijadikan pedoman sampai perubahan kelakuan anak, masih
terdapat jarak yang cukup luas, yang memerlukan pemikiran, kreativitas, dan
kegiatan guru. Dalam hal ini guru harus sadar akan fungsinya sebagai pengembang
kurikulum. Fungsi ini tentu harus lebih disadari oleh kepala sekolah, yang
bertanggung jawab atas pendidikan di sekolah, yang seyogyanya berusaha sedapat mungkin
mengadakan pengembangan kurikulum sekolahnya. Tiap sekolah berbeda dengan
sekolah lain, walaupun berada di kota yang sama, apalagi sekolah di daerah lain
yang berbeda sifat geografis dan sosial-ekonominya. Tiap guru berbeda pribadinya
dengan guru lain. Juga muridnya memiliki karakter yang khas yang berbeda dari
murid-murid dari waktu ke waktu di sekolah lain.
Meningkatkan
mutu pendidikan dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan. Pendekatan
pertama, menyusun paket pembelajaran sedemikian rupa, sehingga guru hanya
berperan sebagai pengatur distribusi bahan itu sesuai dengan kecepatan anak.
Pendekatan kedua, meningkatkan mutu guru sehingga mampu menjalankan tugas dan
memperbaiki kemampuan yang dirasa kurang
atau lemah. Pendekatan ini pun tak mudah dijalankan karena menuntut kualitas
guru yang tinggi yang hingga kini masih sulit dipenuhi.
Pada
dasarnya, kurikulum tak pernah kunjung sempurna dan senantiasa dapat
mencapainya, perbedaan individu dan memiliki relevansi dengan kebutuhan setempat.
Oleh karena itu, bila kita ingin memperbaiki kurikulum sekolah sehingga
hasilnya baik, harus mempertimbangkan : situasi sekolah, kebutuhan siswa dan
guru, masalah yang dihadapi sekolah, kompetensi guru, gejala sosial, serta
perkembangan dan aliran dalam kurikulum.
1. Mengetahui
tujuan perbaikan
Hal pertama dalam mengembangkan atau memperbaiki
kurikulum ialah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya ingin dicapai,
bagaimana cara mencapainya, bagaimana melaksanakannya, apakah perlu dicari
proses belajar-mengajar baru, sumber belajar apa yang diperlukan, bagaimana
mengorganisasikan bahan, bagaimana menilainya, serta bagaimana memanfaatkan
balikannya. Ada kemungkinan, tujuannya harus diperjelas atau diubah. Jadi
pengembangan kurikulum tak kunjung berakhir dan bergerak terus.
2. Mengenal
keadaan sekolah
Hal kedua dalam mengembangkan dan memperbaiki
kurikulum ialah mengenal keadaan sekolah yang akan menggunakan kurikulum yang
dihasilkan. Sering guru tidak mengenal betul situasi sekolah yang sebenarnya.
Misalnya kurang mengenal potensi guru, sumber belajar yang tersedia di sekolah
atau lingkungan, keadaan masyarakat lingkungan, sejarah perkembangan sekolah,
kurikulum sekolah secara keseluruhan, hubungan dengan instansi lain, dan tujuan
yang dapat diperoleh, misalnya dari staf perguruan tinggi
3. Mempelajari
kebutuhan murid dan guru
Kurikulum diperbaiki karena adanya kesenjangan
antara keadaan yang nyata dengan apa yang diharapkan oleh kurikulum atau apa
yang diinginkan peserta didik dan guru. Mengetahui kebutuhan peserta didik dan
guru merupakan titik tolak bagi usaha perbaikan. Tujuan pendidikan seperti
diharapkan pemerintah ialah memberikan dorongan untuk mengadakan perubahan
dalam keadaan sekarang yang dirasa tidak memuaskan.
Untuk itu, pengembangan kurikulum perlu diawali
dengan kajian yang luas guna memperoleh data yang diperlukan. Dari data hasil
kajian itu akan diperoleh informasi tentang apa yang diperlukan siswa dan
persoalan persoalan yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum.
4. Mengenal
masalah yang dihadapi sekolah
Pengembangan atau perbaikan kurikulum hendaknya
beranjak dari permasalahan yang jelas. Permasalahan dapat bersumber dari
persoalan yang dihadapi guru dalam pekerjaan sehari hari. Jika telah ditentukan
dan disetujui masalah yang akan menjadi dasar pengembangan atau perbaikan
kurikulum, maka tahap selanjutnya ialah merancang pemecahan masalah. Pemecahan
masalah dilakukan melalui langkah : merumuskan masalah, menetapkan hipotesis,
menggumpulkan data, mengujuicoba kebenaran hipotesis, mengambil kesimpulan,
mengimplementasikan, melakukan penilaian untuk memperoleh balikan, mengadakan
perubahan, dan seterusnya hingga diperoleh hasil yang memuaskan.
5. Mengenal
kompetensi guru
Kompetensi guru sebagai partisipan yang terlibat
dalam pengembangan atau perbaikan kurikulum perlu diketahui dengan baik.
Kompetensi guru itu berkaitan dengan pengetahuan mereka tentang seluk beluk
kurikulum, bahan pelajaran, proses mengajar-belajar, psikologi anak, sosiologi;
kemampuan yang berkaitan dengan perencanaan, mencetuskan ide ide baru,
mempertemukan pandangan yang bertentangan, dan memupuk suasana yang
menyenangkan, kemampuan yang berhubungan dengan kerja sama untuk menghasilkan
pekerjaan yang bermutu, mengarahkan dan mengkoordinasikan, serta kemampuan yang
berkenaan dengan menganalisis situasi dan menafsirkan perbutan, menilai dari
sejumlah alternatif, mengadakan eksperimen dan penelitian, menanyakan
pertanyaan yang relevan, menyatakan pikiran secara lisan atau tulisan, dan
menggunakan alat seperti komputer.
6. Mengenal
gejala sosial
Pengembangan kurikulum dapat dipicu oleh desakan
dari dalam dan dari luar dunia pendidikan. Desakan dari dalam dunia pendidikan
dapat bersumber dari guru, kepala sekolah, murid, pengawas, atau
departemen.
Hingga kini, umumnya para pendidik, terutama para
guru belum memiliki keberanian yang cukup untuk mengambil inisiatif melakukan
sendiri pengembangan kurikulum. Persoalan-persoalan yang ada kerap dibiarkan
mengambang, hingga lahir kurikulum baru, yang juga belum tentu memberikan
perbaikan. Sementara itu, kurikulum yang baru pun cenderung melenyapkan segala
kebaikan kurikulum yang lampau. Padahal, bila kurikulum diperbaiki secara
kontinu, tak perlu menimbulkan resiko besar untuk mengadakan pembaruan total
yang dapat menimbulkan gongangan besar di kalangan guru- guru. Kurikulum yang
baik tidak diperoleh sekaligus hanya dengan menciptakan kurikulum yang baru.
Kurikulum harus dibangun terus menerus, sedikit demi sedikit yang lazim disebut
sebagai “broken front”.
7. Mengetahui
aliran aliran dalam pengembangan kurikulum
Kurikulum adalah bidang yang subur bagi penelitian.
Banyak buku dan karangan yang mengupas persoalan kurikulum dari berbagai
prespektif. Berbagai aliran timbul dengan alternatif pemikiran baru sebagai
reaksi terhadap praktik pengembangan kurikulum yang terjadi. Setiap aliran
mengandung hal hal yang positif yang dapat memperluas pandangan guru tentang
kurikulum, yang dapat mendorong mereka untuk menerapkannya sebisa yang mereka
lakukan. Ide ide baru tersebut dapat menjadi pokok diskusi tentang kurikulum
dikalangan guru.
H. Prinsip – Prinsip Pengembangan
Pengembangan
kurikulum hendaknya memperhatikan sejumlah prinsip berikut:
1. Prinsip
relevan
Soetopo & Soemanto (dalam Idi, 2007)
mengungkapkan beberapa konsep dari prinsip relevansi.
a) Relevansi pendidikan dengan lingkungan anak
didik. Ini berarti, isi atau muatan kurikulum, seperti bahan pengajaran,
hendaknya disesuaikan dengan kehidupan anak didik.
b) Relevansi
pendidikan dengan kehidupan yang akan datang. Materi atau bahan yang diajarkan
kepada anak didik hendaknya bermanfaat bagi masa depan mereka. Karenanya
pengembangan harus bersifat antisipatif, yang memiliki nilai prediksi secara
tajam.
c) Relevansi
pendidikan dengan dunia kerja. Kurikulum dan proses pendidikan sedapat mungkin
dikaitkan dengan dunia kerja. Tentunya, sesuai dengan jenis pendidikannya,
sehingga pengetahuan yang diperoleh peserta didik dapat diaplikasikan dengan
baik dalam dunia kerja.
d) Relevansi
pendidikan dengan ilmu pengetahuan. Kemajuan pendidikan juga membuat maju ilmu
penegtahuan dan teknologi. Karena itu, program pendidikan (kurikulum) hendaknya
mampu memberi peluang kepada anak didik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, tidak cepat berpuas diri, serta selalu siap menjadi pelopor
dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Prinsip
evektivitas
Yang dimaksud dengan prinsip efektifitas adalah
sejauh mana perencanaan kurikulum yang dapat dicapai sesuai dengan keinginan
yang telah ditentukan. Dalam proses pendidikan, konsep efektifitas dapat
dilihat dari dua sisi. Pertama, efektifitas mengajar pendidik, yang
berkaitan dengan tingkat keterlaksanaan kegiatan belajar mengajar yang
direncanakan. Kedua, efektifitas belajar anak didik, yang berhubungan
dengan tingkat ketercapaian tujuan pengajaran melaui kegiatan belajar mengajar
yang dilaksanakan. Keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Ketidakefektifan pada salah satu mengakibatkan tujuan pengajaran tidak
tercapai.
3. Prinsip
evisiensi
Prinsip evisiensi sering kali dikonotasikan dengan
prinsip ekonomi, yang berbunyi: dengan modal, tenaga, dan waktu yang sekecil
kecilnya akan dicapai hasil yang memuaskan. Evisiensi proses belajar
mengajar akan tercipta, apabila usaha, biaya, waktu, dan tenaga yang digunakan
dapat membuahkan proses dan hasil belajar yang optimal.
4. Prinsip
kesinambungan (kontinuitas)
Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum
menunjukan adanya keterkaitan antara tingkat pendidikan, jenis dan program
pendidikan, serta bidang studi. Konsep prinsip kesinambingan memiliki beberapa
makna. a) Kesinambungan diantara berbagai tingkat sekolah yang menyangkut beberapa hal berikut:
1) Bahan
pelajaran (subject matters) yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada
tingkat pendidikan yang lebih tinggi sudah diajarkan pada tingkat pendidikan
sebelumnya atau dibawahnya;
2) Bahan
pelajaran yang telah diajarkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah tidak
diajakan lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian,
ketumpangtindihan dan keberulangan bahan pelajaran yang tidak perlu dapat
dihindari.
b)
Kesinambungan diantara berbagai bidang studi yang berkaitan dengan hubungan
antara bidang studi yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, untuk mengubah
angka temperatur skala celcius ke skala fahrenheit dalam IPA diperlukan
keterampilan dalam pengalihan pecahan (matematika) karena itu, pelajaran
mengenai bilangan pecahan tersebut hendaknya sudah diberikan sebelum anak didik
mempelajari cara mengubah temperatur.
5. Prinsip
fleksibilitas (keluwesan)
Fleksibilitas berarti tidak kaku. Artinya, kurikulum
yang dikembangkan harus memiliki ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam
bertindak. Konsep fleksibilitas dalam kurikulum dapat dimaknai dari dua sisi.
a) Fleksibilitas
dalam memilih program pendidikan, yang berkaitan dengan pengadaan program
program pilihan yang dapat berbentuk jurusan, spesialisasi, ataupun program
program pendidikan ketrampilan yang dapat dipilih atas dasar kemampuan dan
minat siswa.
b) Fleksibilitas dalam pengembangan program
pembelajaran, yang berkaitan dengan pemberian kesempatan kepada para pendidik
dalam mengembangkan sendiri program program untuk pencapain tujuan dan bahan
pengajaran yang bersifat umum.
6. Prinsip
berorientasi tujuan
Prinsip berorientasi tujuan berarti langkah awal
sebelum memilih dan mengembangkan
komponen komponen kurikulum ialah menetapkan tujuan. Selanjutnya, berbagai
komponen kurikulum lainnya dipilih dan dikembangkan dalam rangka mencapai
tujuan tersebut. Dengan demikian, isi atau bahan pelajaran, alokasi waktu,
media dan sumber belajar, kegiatan pembelajaran, penilaian diarahkan untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan.
I. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum sekolah tidak dapat terlepas dari pengaruh yang terdapat di oerguruan
tinggi dan masyarakat.
1. Perguruan
tinggi
Perguruan tinggi setidaknya memberikan dua pengaruh
terhadap kurikulum sekolah.
a) Segi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Pengetahuan dan teknologi
banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis
pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi akan mempengaruhi isi
pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain
menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media
pendidikan.
b) Segi
pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru guru di lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK, seperti
IKIP, FKIP, STKIP). Kurikulum lembaga pendidikan tenaga kependidikan
juga mempengaruhi pengembangan kurikulum terutama melalui penguasaan ilmu dan
kemampuan keguruan dari guru guru yang dihasilkan
Penguasaan keilmuan, baik ilmu pendidikan maupun
bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru guru, akan sangat mempengaruhi
pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Guru guru yang mengajar
pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang ada dewasa ini, umumnya disiapkan
oleh LPTK melalui berbagai program, yaitu program diploma dan sarjana.
2. Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, yang
diantaranya bertugas mempersiapkan anak didik untuk dapat hidup secara
bermartabat di masyarakat. Sebagai bagian dan agen masyarakat, sekolah dapat
dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di tempat sekolah tersebut berada. Isi
kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi masyarakat penggunanya serta upaya
memenuhi kebutuhan dan tuntutan mereka.
Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin
merupakan masyarakat yang homogen atau heterogen. Kewajiban sekolah adalah
menyerap dan melayani aspirasi aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu
kekuatan yang ada di masyarakat akan mempengaruhi pengembangan kurikulum. Hal
ini karena sekolah tidak hanya sekedar mempersiapkan anak untuk selesai
sekolah, tetapi juga untuk dapat hidup, bekerja, dan berusaha. Jenis pekerjaan
yang ada di masyarakat berimplikasi pada kurikulum yang dikembangkan dan
digunakan sekolah.
3. Sistem
nilai
Kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik
nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai
lembaga bertanggung jawab dalam memelihara dan pewarisan nilai nilai positif
yang tumbuh di masyarakat. Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan
tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum. Persoalannya bagi pengembang
kurikulum ialah nilai yang ada di masyarakat itu tidak hanya satu. Masyarakat
umumnya heterogen. Mereka terdiri dari berbagai kelompok etnis, kelompok
vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, dan kelompok spiritual
keagamaan, dan masing masing kelompok itu memiliki nilai yang khas dan tidak
sama. Dalam masyarakat juga terdapat aspek aspek sosial, ekonomi, polotik,
fisik, estetika, etika, religius dan sebagainya. Aspek aspek tersebut sering
juga mengandung nilai nilai yang berbeda.
J.
Perkembangan
Kurikulum Di Indonesia Sejak Kemerdekaan Sampai Saat ini.
Kurikulum
setelah tahun 1945 meliputi : Kurikulum 1947, Kurikulum 1952/Rentjana Pelajaran
Terurai 1952, Kurikulum 1964/Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004/KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum
2006/KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
1.
Kurikulum
1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan
memakai istilah dalam bahasa Belanda leer plan artinya rencana pelajaran,
istilah ini lebih popular dibanding istilah curriculum (bahasa Inggris). Perubahan arah pendidikan lebih
bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional.
Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat
itu dikenal dengan sebutanRentjana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada
tahun 1950.
Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih
dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development
conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar
dengan bangsa lain di muka bumi ini. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak
menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakanadalah : pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajarandihubungkan dengan
kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2.
Kurikulum
1952 / Rentjana Pelajaran Terurai 1952
Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini
lebih merinci setiap mata pelajaran yangkemudian diberi nama Rentjana Pelajaran
Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan
nasional. Yang paling menonjol dan sekaligusciri dari kurikulum 1952 ini bahwa
setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan
dengan kehidupan sehari-hari. Silabus mata pelajarannyamenunjukkan secara jelas
bahwa seorang guru mengajar satu mata pelajaran, (Djauzak Ahmad, Dirpendas
periode1991-1995)
3.
Kurikulum 1964 / Rentjana Pendidikan
1964
Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang
menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan
agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program
Pancawardhana(Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan,dan jasmani. Ada yang menyebut Panca wardhana
berfokus pada pengembangan dayacipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata
pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral,
kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah.
Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatanfungsional
praktis.
4.
Kurikulum
1984
Kurikulum 1975 yang Disempurnakan Kurikulum 1984
mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut "Kurikulum1975 yang
disempurnakan". Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari
mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).
Dalam CBSA kegiatan belajarnya diwujudkan dalam
berbagai bentuk kegiatan seperti mendengarkan, berdiskusi, membuat sesuatu, menulis laporan, memecahkan masalah, membentuk
gagasan, menyusun rencana dan sebagainya.
5.
Kurikulum
1994 Dan Seplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan
kurikulum-kurikulumsebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayang,
perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik
berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari
muatan nasional sampai muatan lokal. Materimuatan lokal disesuaikan dengan
kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasadaerah kesenian, keterampilan
daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga
mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super
padat. Kejatuhan rezimSoeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum
1999. Tapi perubahannyalebih pada menambal sejumlah materi.
6.
Kurikulum
2004 / KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK)
atau Kurikulum 2004,
adalah kurikulum
dalam dunia
pendidikan
di
Indonesia
yang mulai diterapkan sejak tahun
2004
walau sudah ada sekolah
yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya.
Secara materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari
Kurikulum
1994, perbedaannya
hanya pada cara para murid
belajar di
kelas.
Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem
catur wulan.
Sedangkan dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan
dalam sistem semester.
Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi pelajaran
belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Dalam kurikulum 2004 ini, para murid
dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTek tanpa meninggalkan
kerjasama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi. Jadi
disini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meski begitu pendidikan
yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan
lagi objek, namun subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya.
7.
Kurikulum
2006 / KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) atau kurikulum
2006 adalah sebuah
kurikulum
operasional pendidikan
yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan di Indonesia.
KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang
Nomor
20
Tahun
2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan
Pemerintah
Republik
Indonesia
Nomor
19
Tahun
2005
tentang
Standar
Nasional
Pendidikan.
Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun
ajaran
2007/2008
dengan mengacu pada Standar
Isi
(SI) dan Standar
Kompetensi
Lulusan
(SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang
diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional
Sejarah Perkembangan Kurikulum 4 masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor
23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP. Pada prinsipnya,
KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan
kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari
tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender
pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan SI dan SKL.