Senin, 19 November 2012

pengembangan kurikulum


A.    Hakikat Pengambangan kurikulum

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku, sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang baik. Dengan kata lain pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Ahli kurikulum memandang kegiatan pengembangan kurikulum sebagai suatu proses yang kontinu. Kurikulum disusun agar dunia pendidikan dapat memenuhi tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Jika masyarakatnya berubah, maka kurikulumnya juga harus berubah. Jika kurikulum tidak berubah, maka sebuah layanan pendidikan hanya akan menghasilkan produk yang mandul, yang pada akhirnya akan ditinggalkan oleh masyarakat sebagai salah satu stakeholder pendidikan.

Secara teoritis, pengembangan kurikulum dapat terjadi kapan saja sesuai kebutuhan. Salah satu kebutuhan yang harus diperhatikan dalam kurikulum adalah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perilaku kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Semua itu harus tercermin dalam kurikulum pada setiap jenjang pendidikan yang ada. Munculnya undang-undang baru membawa implikasi baru terhadap paradigma dalam dunia pendidikan. Kondisi yang ada saat ini dan antisipasi terhadap keadaan masa yang menuntut berbagai penyesuaian dan perubahan kurikulum yang digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pendidikan.


B.     Peran Pengambangan kurikulum

Pengembangan kurikulum memiliki berbagai peran berikut:
1.      Peran konservatif
Kurikulum memiliki peran konservatif, yakni kurikulum berperan sebagai salah satu instrumen untuk mengkonservasikan kebudayaan suatu bangsa. Tanpa kurikulum yang baik, kebudayaan suatu bangsa akan sirna dalam sekejap karena tidak ada yang melestrikannya. Dengan mencantumkan dalam kurikulum, kebudayaan suatu bangsa diharapkan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.
2.      Peran kritis dan evaluatif
Kurikulum dapat dengan kritis menilai dan mengevaluasi keberadaan kebudayaan nenek moyangnya untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan. Apabila dipandang ada unsur-unsur kebudayaan yang kurang baik, maka generasi selanjutnya dapat memilah-milah mana unsur yang dapat diterapkan dan dilestarikan, dan mana unsur kebudayaan yang diabaikan karena kurang sesuai dengan perkembangan jaman.
3.      Peran Kreatif
Kurikulum harus mampu menciptakan kreasi-kreasi baru dalam kaitannya dengan kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat sehingga kebudayaan tersebut lebih sesuai dengan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakatnya.

C.    Proses Perubahan dan Pengembangan Kurikulum

1.    Makna perubahan kurikulum
Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau dokumen yang digunakan guru sebagai pegangan dalam proses belajar mengajar. Kurikulum juga dapat dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai peserta didik dan bagaimana proses mencapainya. Kurikulum juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu direvisi secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan jaman. Selain itu, kurikulum dapat ditafsirkan sebagai kenyataan yang terjadi di kelas. Kurikulum dalam arti ini tidak mungkin direncanakan sepenuhnya, serinci-rincinya, karena interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak selalu dapat diramalkan sebelumnya. Dalam konteks seperti ini, guru memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya, kurikulum dapat dipandang sebgai cetusan jiwa pendidikan yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai, yang tertinggi dalam perilaku anak didiknya.
2.         Perubahan dan pengembangan
Perubahan tak selalu sama dengan pengembangan, akan tetapi perkembangan selalu mengandung perubahan. Pengembangan berarti meningkatkan nilai atau mutu. Perubahan adalah pergeseran posisi, kedudukan atau keadaan yang mungkin membawa perbaikan atau memperburuk keadaan. Pengembangan selalu dikaitkan dengan penilaian. Pengembangan dilakukan untuk meningkatkan nilai. Untuk melakukannya didasarkan atas kriteria tertentu. Perbedaan kriteria akan memberi perbedaan pendapat tentang baik buruknya perubahan itu. Dalam bidang kurikulum terdapat banyak ide dan usaha untuk mengembangkan kurikulum yang dicetuskan para ahli. Pada suatu ketika, kurikulum dipusatkan pada anak, tetapi dikemudian hari disadari bahwa anak tak dapat hidup terlepas dari msayarakat. Disadari bahwa kurikulum tidak dapat diutamakan hanya satu aspek saja, akan tetapi semua aspek yaitu anak, masyarakat maupun pengetahuan secara berimbang.
3.        Bagaimana terjadinya perubahan?
Menurut para ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam tiga fase yaitu:
a.    Fase pertama adalah inisiasi. Inisiasi merupakan taraf permulaan sebuah ide dilancarkan, dengan menjelaskan sifat, tujuan, dan cakupan perubahan yang ingin dicapai.
b.      Fase kedua adalah legitimasi. Legitimasi merupakan taraf orang lain mulai menerima perubahan.
c.       Fase ketiga adalah kongruensi. Kongruensi merupakan taraf sewaktu orang mengadopsi suatu perubahan dan menyamakan pendapatnya selaras dengan pikiran para pencetus, sehingga tidak terdapat perbedaan nilai antara pencetus  dengan penerima perubahan.
Kesamaaan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara. Diantaranya melalui pemberian janji, kenaikan gaji atau pangkat, memperoleh kredit, serta sikap ramah, sabar, akrab, pengertian serta mengajak berpartisipasi dan mengemukakan perubahan sebagai masalah yang dipecahkan bersama. Berkaitan dengan kurikulum perubahan akan lebih berhasil jika guru merasa memerlukan perubahan tersebut, sehingga timbul hasrat untuk memperbaiki demi kepentingan bersama.  Perubahan yang terjadi atas paksaan dari atasan, biasanya tidak dapat bertahan lama. Perubahan tersebut hanya akan diikuti secara formal dan cepat luntur.  Menjadikan perubahan sebagai masalah, melibatkan semua yang terlibat dalam perumusan masalah, pengumpulan data, menguji alternatif dan mengambil kesimpulan berdasar percobaaan, dianggap lebih mantap dan meresap dalam hati guru. Akan tetapi cara seperti ini akan memerlukan waktu yang cukup lama.
4.    Perubahan Guru
Perubahan kurikulum tidak akan dapat dilaksanakan tanpa adanya perubahan pada diri guru karena guru yang menjadi kunci keberhasilan sebuah inovasi kurikulum. Pada umumnya perubahan sering terasa menggangu dan membebani. Guru tidak mudah berubah karena kebiasaan lama sudah membuat aman dan nyaman. Suatu perubahan sering dianggap sebagai masalah baru yang mengharuskan guru memulai lagi, belajar lagi, mengujicobakan lagi, dan perilaku lain yang menghadapkan guru pada situasi baru.
Apabila perubahan tersebut disadari oleh guru sebagai sebuah kebutuhan untuk mengatasi masalah dan kekurangan yang dimilikinya, maka tanpa didorong-dorong seorang guru akan berupaya mencari cara untuk mengatasi masalah. Hal  ini akan membuat guru terbuka terhadap perubahan. Informasi yang diperoleh akan memberi guru wawasan dan pandangan baru tentang pendidikan, sehingga akan menimbulkan rasa butuh dan motivasi untuk menerima perubahan yang dapat membawa ke arah perbaikan mutu pendidikan. Orang yang berkeinginan melakukan perubahan harus memicu dan membangkitkan kebutuhan perubahan pada diri guru-guru. Orang tersebut juga tidak boleh bertindak sebagai orang serba tahu dalam mengubah kelakuan guru. Hendaknya orang tersebut sebanyak mungkin melibatkan guru dalam proses perubahan. Perubahan hendaknya disertai dengan pengalaman konkret. Proses perubahan perlu selalu diusahan komunikasi terbuka, sehingga guru-guru bebas mengemukakan pendapat. Walaupun petugas mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, hendaknya tetap berhati-hati dalam menggunakan kekuasaan dan kewibawaan. Selain itu, petugas juga harus memposisikan dirinya dengan tepat dalam memandang guru.  Hal ini dikarenakan guru adalah tokoh utama dalam kelasnya. Guru akan menentang perubahan yang akan mengurangi kedudukannya. Metode yang meniadakan peranan guru dan didasarkan bahan yang telah tersusun, tidak akan diterima guru dengan senang hati. Selain itu, perubahan yang memerlukan pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu akan menemui tantangan yang berat. Orang yang berperan sebagai pengubah kurikulum harus dapat bekerjasama, serta mempengaruhi orang dan memberi inspirasi. Orang tersebut juga harus mempunyai sensitivitas sosial, terbuka terhadap pikiran orang lain dan perubahan. orang yang berperan sebagai pengubah kurikulum harus profesional dan rendah hati.
5.      Mengubah lembaga atau organisasi
Setiap lembaga atau organisasi memiliki struktur sosial tertentu yang tidak mudah untuk dilakukan perubahan. Menurut para ahli, rekayasa sosial dalam usaha mengadakan perubahan dapat dilakukan dengan empat langkah yaitu menganalisis situasi, menentukan perubahan yang perlu diadakan, mengadakan perubahan, dan memantapkan perubahan tersebut. Sikap orang terhadap perubahan berbeda-beda. Ada yang dengan mudah menerima, ada yang menentangnya teranga-terangan atau diam-diam, ada yang acuh tak acuh. Ada yang ikut-ikutan tanpa komitmen, dan ada pula yang ikut untuk mengamankan diri karena takut terhadap sanksi. Menyebarkan perubahan perlu dicegah timbulnya polarisasi yaitu pertentangan antara dua pihak. Perubahan hanya dapat berhasil bila semua pihak terlibat dan bekerja sama. Penyebar perubahan perlu mengenal timbulnya daya-daya yang membantu dan menghalangi perubahan tersebut, serta berusaha memperkuat daya-daya yang menyokong sambil melemahkan, melumpuhkan dan meniadakan daya-daya yang menghambat. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan dan kepekaan sosial. 
Semua pihak yang diharapkan melakukan perubahan perlu ditumbuhkan minat dan kemauannya untuk berubah, diberi kesempatn untuk membicarakan dan memikirkan arti perubahan bagi diri sendiri dan organisasi serta dimungkinkan melakukan percobaan dengan mempraktikkannya sehingga manfaat perubahan dapat dipahami dan dirasakan.
6.      Kelambanan perubahan pendidikan
Terdapat beberapa penyebab kelambanan perubahan dalam dunia pendidikan, diantaranya:
a.       Kurikulum belum mempunyai dasar ilmiah. Bsulit meramalkan setiap metode atau bahkan kurikulum memiliki sejumlah kelemahan karena banyaknya variabel yang mempengaruhi hasil suatu tindakan pendidikan.
b.      Kurikulum tidak mempunyai petugas khusus yang bersedia memberikan bantuan kapan saja diperlukan.
c.       Tidak ada penghargaan khusus bagi guru atau siapapun yang melakukan perbaikan, yang membedakannnya dengan guru lain yang tidak melakukan perubahan apa-apa.
d.      Kebanyakan guru menggunakan cara-cara lama yang telah teruji dan telah dikenal guru dengan baik serta dijalankan secara rutin.
e.       Kurikulum yang seragam menghambat ruang gerak guru untuk mengadakan perubahan dan menimbulkan kesan setiap penyimpangan dari yang telah ditentukan dalam pedoman kurikulum dianggap sebagai pelanggaran. Padahal, dalam kurikulum yang ditentukan oleh pusat selalu ada ketidaksesuaian dengan kenyataan lapangan yang memerlukan penyesuaian oleh guru.

D.    Isi Pengembangan Kurikulum

Ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan isi dalam pengembangan kurikulum. Pertama, isi kurikulum didefinisikan sebagai bahan atau materi belajar mengajar. Bahan dalam kurikulum tidak hanya berisi informasi faktual, tetapi juga mencangkup pengetahuan, keterampilan, konsep, sikap, dan nilai. Beberapa ahli yakin bahwa beberapa isi mempunyai nilai intrinsik yang dapat dipelajari demi kepentingannya sendiri. Pendapat lain menyatakan bahwa isi kurikulum memiliki nilai jika hal itu dapat digunakan. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa semua isi memiliki nilai instrumental yakni alat-alat sederhana yang oleh orang lain menjadi pelajaran-pelajaran yang bernilai. Kedua, dalam proses belajar mengajar ada dua elemen kurikulum yang berinteraksi secara konstan yakni isi dan metode.
1.      Persoalan-persoalan yang berhubungan dengan penyeleksian isi atau bahan
Bruner (dalam Abdullah Idi,2007) berpendapat bahwa pengajaran kurikulum baru berhubungan dengan cara memberikan pengetahuan kepada anak didik tentang strukutur fundamental dari mata pelajaran yang dipilih. Menurut Bruner, struktur ini mencakup segala prinsip dan organisasi yang terdiri atas sejumlah mata pelajaran tertentu. Dengan demikian, anak didik mampu memiliki struktur dari suatu mata pelajaran. Bruner juga mengatakan bahwa dalam mempelajari struktur anak didik juga akan mempelajari tentang bagaimana sesuatu dihubungkan. Peters berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses mengantarkan dan mengarahkan anak didik pada pengetahuan yang relevan.
2. Kriteria penyeleksian isi atau bahan
Dalam menyeleksi  isi atau bahan kurikulum, pengembangan kurikulum perlu memperhatikan berbagai kriteria :
a.       Validitas
Isi dinyatakan valid ketika otentik, kendala utama keotentikan isi adalah keusangan pengetahuan. Keusangan itu dapat berupa fakta atau konsep, prinsip-prinsip atau teori dari suatu bidang pengetahuan yang sudah tidak terpakai atau sudah kuno.
b.      Signifikan
Isi merupakan fundamen bagi setiap mata pelajaran atau bidang studi. Kriteria signifikansi berlaku untuk fakta-fakta, ide utama, konsep, dan prinsip yang menjadi isi suatu mata pelajaran. Dengan demikian, kriteria signifikansi terkait dengan penentuan keseimbangan antara ide-ide dan fakta-fakta dalam suatu mata pelajaran, dengan tujuan untuk mencapai keluasan dan kedalaman isi.
c.       Sesuatu yang diminati peserta didik
Minat anak didik merupakan salah satu pertimbangan dalam seleksi isi, meskipun ada perdebatan tentang sejauh mana pengembangan kurikulum harus mengakomodasi kriteria ini ke dalam isi kurikulum. Persoalan yang terkait dengan kriteria ini adalah bagaimana menyelaraskan isi kurikulum dengan minat dan perilaku anak didik.
d.      Dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran ( learnability)
Isi yang dipilih harus dapat dipelajari oleh anak didik dan juga harus dapat diadaptasikan sesuai dengan kemampuan anak didik. Dalam hal ini yang penting adalah adanya kesesuaian antara isi yang diseleksi dengan apa yang telah anak pelajari.
e.       Konsistensi dengan realitas sosial
Isi harus konsisten dengan realitas sosial. Kriteria ini secara efektif sama dengan kriteria “validitas”, tetapi ada perbedaan antara respon terhadap situasi langsung (validitas) dengan pencapaian suatu orientasi pemikiran realitas terhadap kebutuhan dasar dan budaya.
f.       Mempunyai nilai guna (utility)
Kriteria ini menganjurkan bahwa isi yang paling berguna bagi anak didik dalam menyelesaikan kondisi sekarang dan di masa mendatang harus diseleksi pada semua mata pelajaran. Mempunyai nilai guna ini harus memilah dan menyeleksi isi dengan ketat, sesuai dengan nilai gunanya.

E.     Asas Pengembangan Kurikulum

Menurut Nasution (1995) terdapat empat asas yang mendasari pengembangan setiap kurikulum yaitu :
1.      Asas filosifis
Asas filosofis ini berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan falsafah masing-masing negara.
2.      Asas psikologis
1)      Psikologi anak
Sekolah didirikan untuk kepentingan anak, yakni menciptakan situasi-situasi dimana anak dapat belajar untuk mengembangkan bakat dan potensinya. Kurikulum harus berorientasi pada minat dan perkembangan anak atau child centered curiculum.
2)      Psikologi belajar
Pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak-anak dapat dididik, dapat dipengaruhi perilakunya. Psikologi belajar mengkaji tentang bagaimana proses belajar anak itu berlangsung.
3.      Asas sosiologis
Anak tidak hidup sendiri, terisolasi dari manusia lainnya. Anak hidup dalam suatu masyarakat, dimana ia harus memenuhi tugas-tugas yang harus dilaksanakannya dengan penuh tanggung jawab, baik sebagai anak, maupun sebagai orang dewasa kelak. Setiap masyarakat memiliki norma-norma, adat kebiasaan, dan anutan corak nilai yang berlainan. Perbedaan dari setiap masyarakat inilah yang harus dipertimbangkan dalam kurikulum.

F. Tingkat Pengembangan

Pengembangan kurikulum dapat dilakukan dalam kadar kecil dan sangat terbatas, dan dapat pula secara meluas dan mendasar. Pengembangan kurikulum itu dapat berupa (1) substitusi, (2) alterasi, (3) variasi, (4) restrukturisasi, dan (5) orientasi baru.
Pengembangan yang bersifat substitusi dapat berupa penggantian suatu buku pelajaran dengan buku pelajaran yang bernilai lebih baik. Perubahan seperti itu sangat kecil karena hanya mengganti atau menukar buku pelajaran. Alterasi merupakan bentuk perubahan kurikulum dengan misalnya, menambah atau menggurangi jam pelajaran untuk bidang studi tertentu, yang dapat mempengaruhi jam pelajaran bidang studi lain. Perubahan ini lebih sulit dibandingkan dengan substitusi, karena harus dilakukan berdasaran alasan mengapa jam pelajaran suatu bidang studi ditambah, dan mengapa bidang studi lain harus dikurangi.
Perubahan kurikulum dalam bentuk variasi dimaksudkan untuk menerima dan menerapkan suatu metode yang berhasil disekolah lain untuk dijalankan di sekolah sendiri, dengan meniadakan metode yang lama. Perubahan seperti ini memerlukan perubahan pada guru yang harus mempelajari dan menguasai metode baru tersebut. Perubahan ini lebih sulit dibandingkan dengan bentuk-bentuk perubahan sebelumnya.
Restrukturisasi adalah bentuk perubahan kurikulum melalui pemberian peran baru kepada guru dengan dukungan tenaga dan fasilitas baru, seperti pengembangan team teaching, dan akhirnya perubahan paling besar resikonya ialah melalui restrukturisasi, yaitu perubahan yang berkaitan dengan penerapan nilai-nilai baru, misalnya peralihan kurikulum yang berpusat pada pengetahuan akademis (subject-centered) menjadi unit approach, kurikulum yang berpusat pada anak, atau macam-macam pendekatan lain dalam kurikulum.

G.    Proses Pengembangan Kurikulum

Wewenang pengembangan kurikulum adalah pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional. Yang dihasilkan adalah suatu kurikulum nasional yang menentukan garis-garis besar tentang apa yang harus diajarkan kepada siswa. Tetapi, ada pula yang berpandangan bahwa kurikulum dapat ditafsirkan sebagai segala sesuatu yang terjadi dalam kelas dan sekolah yang mempengaruhi perubahan perilaku siswa dengan berpedoman pada kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah. Dalam arti terkhir ini, pengembangan kurikulum terutama tergantung pada guru. Guru menentukan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kelasnya. Dalam posisi ini boleh dikatakan guru sebagai pengembang kurikulum. Ada dan tidaknya kegiatan pengembangan pengajaran dalam kelasnya bergantung pada ada tidaknya usaha guru.
Tak semua guru sadar akan peranannya sebagai pengembang kurikulum. Ia memandang dirinya sekedar sebagai pelaksana kurikulum, yang berusaha untuk tidak melakukan kesalahan dari ketentuan dari atasan. Padahal, apa yang ditentukan oleh atasan sebenarnya masih jauh dari lengkap. Yang diberikan umumnya adalah garis-garis besar. Bahan pelajaran juga hanya memuat pokok pokoknya saja, dan rinciannya harus dijabarkan oleh guru. Demikian pula, metode yang dianjurkan sangat terbatas dan tidak spesifik.
Penilaian formatif dan sumatif untuk setiap pelajaran ditentukan sepenuhnya oleh guru. Guru dapat menerapkan penilaian yang lebih komprehensif, yang meliputi aspek emosional, moral, sosial, sikap dan aspek afektif lainnya. Guru dalam posisi strategis untuk lebih mengenal perkembangan anak, fisik, mental, etis, estetis, sosial, dan lain lain.
Antara kurikulum nasional yang dijadikan pedoman sampai perubahan kelakuan anak, masih terdapat jarak yang cukup luas, yang memerlukan pemikiran, kreativitas, dan kegiatan guru. Dalam hal ini guru harus sadar akan fungsinya sebagai pengembang kurikulum. Fungsi ini tentu harus lebih disadari oleh kepala sekolah, yang bertanggung jawab atas pendidikan di sekolah, yang  seyogyanya berusaha sedapat mungkin mengadakan pengembangan kurikulum sekolahnya. Tiap sekolah berbeda dengan sekolah lain, walaupun berada di kota yang sama, apalagi sekolah di daerah lain yang berbeda sifat geografis dan sosial-ekonominya. Tiap guru berbeda pribadinya dengan guru lain. Juga muridnya memiliki karakter yang khas yang berbeda dari murid-murid dari waktu ke waktu di sekolah lain.
Meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan. Pendekatan pertama, menyusun paket pembelajaran sedemikian rupa, sehingga guru hanya berperan sebagai pengatur distribusi bahan itu sesuai dengan kecepatan anak. Pendekatan kedua, meningkatkan mutu guru sehingga mampu menjalankan tugas dan memperbaiki kemampuan yang dirasa  kurang atau lemah. Pendekatan ini pun tak mudah dijalankan karena menuntut kualitas guru yang tinggi yang hingga kini masih sulit dipenuhi.
Pada dasarnya, kurikulum tak pernah kunjung sempurna dan senantiasa dapat mencapainya, perbedaan individu dan memiliki relevansi dengan kebutuhan setempat. Oleh karena itu, bila kita ingin memperbaiki kurikulum sekolah sehingga hasilnya baik, harus mempertimbangkan : situasi sekolah, kebutuhan siswa dan guru, masalah yang dihadapi sekolah, kompetensi guru, gejala sosial, serta perkembangan dan aliran dalam kurikulum.
1.      Mengetahui tujuan perbaikan
Hal pertama dalam mengembangkan atau memperbaiki kurikulum ialah mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya ingin dicapai, bagaimana cara mencapainya, bagaimana melaksanakannya, apakah perlu dicari proses belajar-mengajar baru, sumber belajar apa yang diperlukan, bagaimana mengorganisasikan bahan, bagaimana menilainya, serta bagaimana memanfaatkan balikannya. Ada kemungkinan, tujuannya harus diperjelas atau diubah. Jadi pengembangan kurikulum tak kunjung berakhir dan bergerak terus.
2.      Mengenal keadaan sekolah
Hal kedua dalam mengembangkan dan memperbaiki kurikulum ialah mengenal keadaan sekolah yang akan menggunakan kurikulum yang dihasilkan. Sering guru tidak mengenal betul situasi sekolah yang sebenarnya. Misalnya kurang mengenal potensi guru, sumber belajar yang tersedia di sekolah atau lingkungan, keadaan masyarakat lingkungan, sejarah perkembangan sekolah, kurikulum sekolah secara keseluruhan, hubungan dengan instansi lain, dan tujuan yang dapat diperoleh, misalnya dari staf perguruan tinggi
3.      Mempelajari kebutuhan murid dan guru
Kurikulum diperbaiki karena adanya kesenjangan antara keadaan yang nyata dengan apa yang diharapkan oleh kurikulum atau apa yang diinginkan peserta didik dan guru. Mengetahui kebutuhan peserta didik dan guru merupakan titik tolak bagi usaha perbaikan. Tujuan pendidikan seperti diharapkan pemerintah ialah memberikan dorongan untuk mengadakan perubahan dalam keadaan sekarang yang dirasa tidak memuaskan.
Untuk itu, pengembangan kurikulum perlu diawali dengan kajian yang luas guna memperoleh data yang diperlukan. Dari data hasil kajian itu akan diperoleh informasi tentang apa yang diperlukan siswa dan persoalan persoalan yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum.
4.      Mengenal masalah yang dihadapi sekolah
Pengembangan atau perbaikan kurikulum hendaknya beranjak dari permasalahan yang jelas. Permasalahan dapat bersumber dari persoalan yang dihadapi guru dalam pekerjaan sehari hari. Jika telah ditentukan dan disetujui masalah yang akan menjadi dasar pengembangan atau perbaikan kurikulum, maka tahap selanjutnya ialah merancang pemecahan masalah. Pemecahan masalah dilakukan melalui langkah : merumuskan masalah, menetapkan hipotesis, menggumpulkan data, mengujuicoba kebenaran hipotesis, mengambil kesimpulan, mengimplementasikan, melakukan penilaian untuk memperoleh balikan, mengadakan perubahan, dan seterusnya hingga diperoleh hasil yang memuaskan.
5.      Mengenal kompetensi guru
Kompetensi guru sebagai partisipan yang terlibat dalam pengembangan atau perbaikan kurikulum perlu diketahui dengan baik. Kompetensi guru itu berkaitan dengan pengetahuan mereka tentang seluk beluk kurikulum, bahan pelajaran, proses mengajar-belajar, psikologi anak, sosiologi; kemampuan yang berkaitan dengan perencanaan, mencetuskan ide ide baru, mempertemukan pandangan yang bertentangan, dan memupuk suasana yang menyenangkan, kemampuan yang berhubungan dengan kerja sama untuk menghasilkan pekerjaan yang bermutu, mengarahkan dan mengkoordinasikan, serta kemampuan yang berkenaan dengan menganalisis situasi dan menafsirkan perbutan, menilai dari sejumlah alternatif, mengadakan eksperimen dan penelitian, menanyakan pertanyaan yang relevan, menyatakan pikiran secara lisan atau tulisan, dan menggunakan alat seperti komputer.
6.      Mengenal gejala sosial
Pengembangan kurikulum dapat dipicu oleh desakan dari dalam dan dari luar dunia pendidikan. Desakan dari dalam dunia pendidikan dapat bersumber dari guru, kepala sekolah, murid, pengawas, atau departemen.
Hingga kini, umumnya para pendidik, terutama para guru belum memiliki keberanian yang cukup untuk mengambil inisiatif melakukan sendiri pengembangan kurikulum. Persoalan-persoalan yang ada kerap dibiarkan mengambang, hingga lahir kurikulum baru, yang juga belum tentu memberikan perbaikan. Sementara itu, kurikulum yang baru pun cenderung melenyapkan segala kebaikan kurikulum yang lampau. Padahal, bila kurikulum diperbaiki secara kontinu, tak perlu menimbulkan resiko besar untuk mengadakan pembaruan total yang dapat menimbulkan gongangan besar di kalangan guru- guru. Kurikulum yang baik tidak diperoleh sekaligus hanya dengan menciptakan kurikulum yang baru. Kurikulum harus dibangun terus menerus, sedikit demi sedikit yang lazim disebut sebagai “broken front”.
7.      Mengetahui aliran aliran dalam pengembangan kurikulum
Kurikulum adalah bidang yang subur bagi penelitian. Banyak buku dan karangan yang mengupas persoalan kurikulum dari berbagai prespektif. Berbagai aliran timbul dengan alternatif pemikiran baru sebagai reaksi terhadap praktik pengembangan kurikulum yang terjadi. Setiap aliran mengandung hal hal yang positif yang dapat memperluas pandangan guru tentang kurikulum, yang dapat mendorong mereka untuk menerapkannya sebisa yang mereka lakukan. Ide ide baru tersebut dapat menjadi pokok diskusi tentang kurikulum dikalangan guru.

H.    Prinsip – Prinsip Pengembangan

Pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan sejumlah prinsip berikut:
1.      Prinsip relevan
Soetopo & Soemanto (dalam Idi, 2007) mengungkapkan beberapa konsep dari prinsip relevansi.
a)       Relevansi pendidikan dengan lingkungan anak didik. Ini berarti, isi atau muatan kurikulum, seperti bahan pengajaran, hendaknya disesuaikan dengan kehidupan anak didik.
b)      Relevansi pendidikan dengan kehidupan yang akan datang. Materi atau bahan yang diajarkan kepada anak didik hendaknya bermanfaat bagi masa depan mereka. Karenanya pengembangan harus bersifat antisipatif, yang memiliki nilai prediksi secara tajam.
c)      Relevansi pendidikan dengan dunia kerja. Kurikulum dan proses pendidikan sedapat mungkin dikaitkan dengan dunia kerja. Tentunya, sesuai dengan jenis pendidikannya, sehingga pengetahuan yang diperoleh peserta didik dapat diaplikasikan dengan baik dalam dunia kerja.
d)     Relevansi pendidikan dengan ilmu pengetahuan. Kemajuan pendidikan juga membuat maju ilmu penegtahuan dan teknologi. Karena itu, program pendidikan (kurikulum) hendaknya mampu memberi peluang kepada anak didik untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak cepat berpuas diri, serta selalu siap menjadi pelopor dalam penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
2.      Prinsip evektivitas
Yang dimaksud dengan prinsip efektifitas adalah sejauh mana perencanaan kurikulum yang dapat dicapai sesuai dengan keinginan yang telah ditentukan. Dalam proses pendidikan, konsep efektifitas dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, efektifitas mengajar pendidik, yang berkaitan dengan tingkat keterlaksanaan kegiatan belajar mengajar yang direncanakan. Kedua, efektifitas belajar anak didik, yang berhubungan dengan tingkat ketercapaian tujuan pengajaran melaui kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan. Keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Ketidakefektifan pada salah satu mengakibatkan tujuan pengajaran tidak tercapai.
3.      Prinsip evisiensi
Prinsip evisiensi sering kali dikonotasikan dengan prinsip ekonomi, yang berbunyi: dengan modal, tenaga, dan waktu yang sekecil kecilnya akan dicapai hasil yang memuaskan. Evisiensi proses belajar mengajar akan tercipta, apabila usaha, biaya, waktu, dan tenaga yang digunakan dapat membuahkan proses dan hasil belajar yang optimal.


4.      Prinsip kesinambungan (kontinuitas)
Prinsip kesinambungan dalam pengembangan kurikulum menunjukan adanya keterkaitan antara tingkat pendidikan, jenis dan program pendidikan, serta bidang studi. Konsep prinsip kesinambingan memiliki beberapa makna. a) Kesinambungan diantara berbagai tingkat sekolah yang menyangkut  beberapa hal berikut:
1)      Bahan pelajaran (subject matters) yang diperlukan untuk belajar lebih lanjut pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi sudah diajarkan pada tingkat pendidikan sebelumnya atau dibawahnya;
2)      Bahan pelajaran yang telah diajarkan pada tingkat pendidikan yang lebih rendah tidak diajakan lagi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian, ketumpangtindihan dan keberulangan bahan pelajaran yang tidak perlu dapat dihindari.
b) Kesinambungan diantara berbagai bidang studi yang berkaitan dengan hubungan antara bidang studi yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, untuk mengubah angka temperatur skala celcius ke skala fahrenheit dalam IPA diperlukan keterampilan dalam pengalihan pecahan (matematika) karena itu, pelajaran mengenai bilangan pecahan tersebut hendaknya sudah diberikan sebelum anak didik mempelajari cara mengubah temperatur.
5.      Prinsip fleksibilitas (keluwesan)
Fleksibilitas berarti tidak kaku. Artinya, kurikulum yang dikembangkan harus memiliki ruang gerak yang memberikan kebebasan dalam bertindak. Konsep fleksibilitas dalam kurikulum dapat dimaknai dari dua sisi.
a)      Fleksibilitas dalam memilih program pendidikan, yang berkaitan dengan pengadaan program program pilihan yang dapat berbentuk jurusan, spesialisasi, ataupun program program pendidikan ketrampilan yang dapat dipilih atas dasar kemampuan dan minat siswa.
b)       Fleksibilitas dalam pengembangan program pembelajaran, yang berkaitan dengan pemberian kesempatan kepada para pendidik dalam mengembangkan sendiri program program untuk pencapain tujuan dan bahan pengajaran yang bersifat umum.
6.      Prinsip berorientasi tujuan
Prinsip berorientasi tujuan berarti langkah awal sebelum memilih dan  mengembangkan komponen komponen kurikulum ialah menetapkan tujuan. Selanjutnya, berbagai komponen kurikulum lainnya dipilih dan dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Dengan demikian, isi atau bahan pelajaran, alokasi waktu, media dan sumber belajar, kegiatan pembelajaran, penilaian diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.

I.  Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum

Pengembangan kurikulum sekolah tidak dapat terlepas dari pengaruh yang terdapat di oerguruan tinggi dan masyarakat.
1.      Perguruan tinggi
Perguruan tinggi setidaknya memberikan dua pengaruh terhadap kurikulum sekolah.
a)       Segi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan.
b)      Segi pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru guru di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK, seperti  IKIP, FKIP, STKIP). Kurikulum lembaga pendidikan tenaga kependidikan juga mempengaruhi pengembangan kurikulum terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru guru yang dihasilkan
Penguasaan keilmuan, baik ilmu pendidikan maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru guru, akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Guru guru yang mengajar pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang ada dewasa ini, umumnya disiapkan oleh LPTK melalui berbagai program, yaitu program diploma dan sarjana.
2.      Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, yang diantaranya bertugas mempersiapkan anak didik untuk dapat hidup secara bermartabat di masyarakat. Sebagai bagian dan agen masyarakat, sekolah dapat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di tempat sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi masyarakat penggunanya serta upaya memenuhi kebutuhan dan tuntutan mereka.
Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin merupakan masyarakat yang homogen atau heterogen. Kewajiban sekolah adalah menyerap dan melayani aspirasi aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada di masyarakat akan mempengaruhi pengembangan kurikulum. Hal ini karena sekolah tidak hanya sekedar mempersiapkan anak untuk selesai sekolah, tetapi juga untuk dapat hidup, bekerja, dan berusaha. Jenis pekerjaan yang ada di masyarakat berimplikasi pada kurikulum yang dikembangkan dan digunakan sekolah.
3.      Sistem nilai
Kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga bertanggung jawab dalam memelihara dan pewarisan nilai nilai positif yang tumbuh di masyarakat. Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum. Persoalannya bagi pengembang kurikulum ialah nilai yang ada di masyarakat itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen. Mereka terdiri dari berbagai kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, dan kelompok spiritual keagamaan, dan masing masing kelompok itu memiliki nilai yang khas dan tidak sama. Dalam masyarakat juga terdapat aspek aspek sosial, ekonomi, polotik, fisik, estetika, etika, religius dan sebagainya. Aspek aspek tersebut sering juga mengandung nilai nilai yang berbeda.
J.      Perkembangan Kurikulum Di Indonesia Sejak Kemerdekaan Sampai Saat ini.
Kurikulum setelah tahun 1945 meliputi : Kurikulum 1947, Kurikulum 1952/Rentjana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1964/Rentjana Pendidikan 1964, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004/KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006/KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
1.         Kurikulum 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda leer plan artinya rencana pelajaran, istilah ini lebih popular dibanding  istilah curriculum (bahasa Inggris). Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutanRentjana Pelajaran 1947, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950.
Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakanadalah : pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajarandihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2.         Kurikulum 1952 / Rentjana Pelajaran Terurai 1952
Pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yangkemudian diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligusciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Silabus mata pelajarannyamenunjukkan secara jelas bahwa seorang guru mengajar satu mata pelajaran, (Djauzak Ahmad, Dirpendas periode1991-1995)
3.    Kurikulum 1964 / Rentjana Pendidikan 1964
Pokok-pokok  pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana(Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan,dan jasmani. Ada yang menyebut Panca wardhana berfokus pada pengembangan dayacipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok  bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatanfungsional praktis.
4.         Kurikulum 1984
Kurikulum 1975 yang Disempurnakan Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut "Kurikulum1975 yang disempurnakan". Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Learning (SAL).
Dalam CBSA kegiatan belajarnya diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti mendengarkan, berdiskusi, membuat sesuatu, menulis laporan, memecahkan masalah, membentuk gagasan, menyusun rencana dan sebagainya.
5.         Kurikulum 1994 Dan Seplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulumsebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayang, perpaduan antara tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga banyak kritik berdatangan, disebabkan oleh beban belajar siswa dinilai terlalu berat, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materimuatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasadaerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum.  Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezimSoeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannyalebih pada menambal sejumlah materi.
6.         Kurikulum 2004 / KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara para murid belajar di kelas. Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem catur wulan. Sedangkan dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Dalam kurikulum 2004 ini, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTek tanpa meninggalkan kerjasama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi. Jadi disini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meski begitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya.
7.         Kurikulum 2006 / KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum 2006 adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan di Indonesia. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2007/2008 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri  Pendidikan Nasional
Sejarah Perkembangan Kurikulum 4 masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP. Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan  kurikulum  tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL.

Followers

Follow Me on Twitter

pengunjung

free counters
 

Catatan Penaku | Copyright © 2011
Designed by Rinda's Templates | Picture by Wanpagu
Template by Blogger Platform