Kamis, 21 Maret 2013

A Moment to Remember

         8 Juli 2010. Aku berada di titik terjatuhku. Aku tak pernah membayangkan akan terjatuh pada hari itu.

     Selama sebelum waktu itu, aku benar2 bersyukur memiliki keluarga yang lengkap dan bahagia. Mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku. Bahkan ayahku, walaupun beliau disibukkan dengan aktivitas kantornya di sebuah kantor dinas kabupaten, sebagai ketua RT, dan sibuk membantu untuk membangun desa dengan menjadi ketua LPMD, PNPM dan sebagainya. Tetapi, beliau tak pernah lupa untuk memikirkan masa depan anak-anaknya. Yang membuatku bangga sampai saat ini adalah ayah yang dari jauh2 hari mempersiapkan masa depan pendidikan kedua anaknya dengan menyediakan 2 rekening tabungan dan mempersiapkan masa depan kehidupan kedua anaknya dengan menyediakan lahan/pekarangan.

      Hidupku seakan sudah sempurna. Kedua orang tuaku selalu memahami apa yang aku butuhkan. Walaupun mereka juga tahu apa yang aku inginkan, jadi terkadang mereka tidak memenuhinya, karena mereka begitu tahu apa yang aku butuhkan. Pola asuh yang mereka berikan, membuatku lebih mandiri dan untuk selalu bersyukur dengan keadaan apapun. Begitu sayangnya Allah pada keluarga kami. Keluargaku adalah puncak kebahagiaanku.
      Namun Allah berkehendak lain. Allah memanggil ayah untuk kembali pada-NYA. Kebahagiaan keluarga kami tiba-tiba terenggut. Aku benar2 berada di titik terjatuhku. Ayah mengalami kecelakaan sewaktu dalam perjalanan dinasnya. Ayah sempat koma selama 6 jam. Yang mengenaskan adalah, sesaat setelah kecelakaan, tubuh ayah langsung ditutup dengan koran karena polisi mengira ayah sudah meninggal di tempat. Ketika dibawa ke rumah sakit, dokter2 di rumah sakit terdekat sudah menyerah, karena ayah benar2 mengalami kecacatan pada otaknya yang kelak jika ayah bisa diselamatkan, kemungkinan besar ayah akan mengalami kecacatan permanen. Kemudian ayah langsung dirujuk ke rumah sakit yang memiliki peralatan lebih lengkap. Namun ketika adzan magrib, ayah dipanggil.
       Titik terjatuh. Itulah aku pada hari itu. Cukup. Aku tidak kuat untuk menulisnya lagi.
       Selama kurang lebih 3 tahun, aku yang sudah terbiasa hidup tanpa sosok ayah. Dan aku bertekad, aku akan merawat ibu kelak ketika aku sudah memiliki kehidupan sendiri. Aku akan membantu keluarga menggantikan ayah. Aku yakin, aku bisa hidup tanpa sosok ayah.
      Tapi penilaianku salah. Ibu yang aku yakin adalah sosok ibu yang tegar. Beliau sangat membutuhkan sosok pemimpin keluarga untuk mengarahkan kami, ibu dan anaknya. Terutama adikku, yang pasca kembalinya ayah ke sisi-Nya, menjadi sosok yang introvert. Adik membutuhkan sosok laki-laki yang dapat mengarahkannya. Dan ibu membutuhkan sosok suami untuk membantunya memimpin keluarga. Walaupun aku yakin aku bisa, tapi ternyata ibu dan adik sangat membutuhkan sosok itu.
     Walaupun terasa berat untuk menerima sosok asing menggantikan posisi ayah di rumah kami. Aku tak boleh egois. Aku tak boleh memikirkan kebahagiaanku sendiri. Tetapi kebahagiaan mereka jauh lebih penting. Karena tidak lama lagi toh aku akan mempunyai kehidupan sendiri. Kebahagiaan ibu dan adikku adalah kebahagiaan terbesarku.


Followers

Follow Me on Twitter

pengunjung

free counters
 

Catatan Penaku | Copyright © 2011
Designed by Rinda's Templates | Picture by Wanpagu
Template by Blogger Platform